maret aku dilahirkan

KISAH NYATA

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on print

Hari ke delapan, kurang lebih setengah jam menjelang tengah malam Jumat Kliwon—Ibuku turut merayakan Hari Perempuan Sedunia saat aku merangkak sambil menangis keluar dari rahimnya.

Sewaktu kecil aku sering bertemu makhluk gaib. Bagi kebanyakan orang mereka tak kasat mata, namun buatku kemunculan mereka tidak pernah menyenangkan.

Tinggi dan besar, cebol tapi galak, ramai-ramai berbayang, wujud mereka beraneka bentuk. Banyak juga yang tak ingin menampakkan rupa, namun tanpa segan memindahkan barang, menciptakan berbagai ilusi, menyebarkan aroma menyegat, menyeret langkah, atau mengeraskan suara nafas hingga aku sadar bahwa aku harus pergi.

Dari dalam tembok, lemari, langit-langit, di balik pintu atau jendela, mereka ada di mana-mana. Aku bukan penakut, namun kemunculan mereka selalu membuatku ngeri. Apalagi saat aku demam, mustahil aku bisa ditinggal sendirian.

Beranjak remaja, aku semakin mengenal dunia. Perlahan tapi pasti perjumpaan makhluk gaib berangsur raib. Aku tahu mereka ada, tapi nuraniku mengembangkan mekanisme perlindungan diri untuk tidak menjadi peka—terhadap mereka.

Secara alami saat satu indera ditutup, indera lain menjadi lebih peka. Aku mulai merasakan beragam sensasi lain. Kadang imaji kejadian masa depan yang belum terjadi terlihat begitu saja, namun yang paling mengganggu adalah kepekaan empati. Aku merasakan yang mereka rasakan, mengalami yang mereka alami.

Mereka adalah siapapun manusia yang ada di sekitarku. Senang, sedih, tenang, cemas, khawatir, curiga, bahagia, dan segala macam bentuk perasaan lainnya—bahkan sakit. Aku dapat merasakan sakit mereka, hingga kadang aku lupa siapa yang sebenarnya sakit—padahal aku sendiri baik-baik saja. Aku lebih mudah merasakan perasaan mereka, daripada perasaanku sendiri.

Semasa pensiun setelah bekerja puluhan tahun di salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia, Bapakku serius menekuni dunia kesehatan non-medis. Dalam perjalanannya Bapak berjumpa dengan seorang praktisi yang mendalami keilmuan tentang aura—medan energi berwarna yang mengelilingi manusia dan makhluk hidup lainnya—bernama Tom Suhalim.

Bapak menyuruhku untuk bertemu Pak Tom untuk mencari jawaban. Pak Tom membuka klinik analisa dan diagnosa aura manusia. Selain terlatih dapat melihat langsung aura pasiennya, Pak Tom juga memiliki berbagai perangkat bantuan agar menjamin hasil analisa dan diagnosa pasiennya objektif, akurat, dan ilmiah. Aku mengunjungi kliniknya yang saat itu berada di tengah pusat kesehatan salah satu hotel besar di ibukota. Di dalam ruangan itu terlihat kamera dan pemindai untuk jari tangan terhubung komputer dengan piranti lunak khusus.

Namun saat tiba giliranku untuk diperiksa, rangkaian piranti tersebut seolah tak sanggup untuk bekerja. Kamera enggan mengambil gambar, setelah berbagai peringatan kesalahan muncul dari piranti lunaknya, tanganku tersengat listrik dari pemindai tangannya. Aku keluar dari ruangan itu untuk sejenak menenangkan diri. Saat kembali, akhirnya rangkaian perangkat itu mau bekerja sama hingga kami dapat mencetak hasil analisa yang kami butuhkan.

Pak Tom bilang, energi bawaan lahirku berjiwa tua. Aku dapat menghabiskan waktu untuk pencarian kreatif, berkhayal, atau sekedar merenung. Empati menjadi kekuatan dan kelemahan terbesarku. Aku seperti spons, tanpa penyaring secara alami menyerap energi sekitarku. Merasakan pengalaman orang lain membuatku mudah beradaptasi dan belajar hal-hal baru. Namun kemudahan itu juga dapat membebani, hingga kadang menghadapi konflik dapat menjadi lebih menantang daripada yang seharusnya.

Gravitasi akan memaksaku untuk menjalin ikatan erat dengan orang-orang yang berdengung di frekuensi yang selaras. Meskipun terpisah oleh batas ruang dan waktu, atau aku belum pernah bertemu mereka sebelumnya.

Berbagai petuah disampaikan Pak Tom kepadaku agar aku dapat mengenal diriku sendiri. Agar aku dapat berfungsi menjadi manusia berguna di tengah dinamika sosial masyarakat. Apapun yang aku alami, apapun yang aku rasakan, aku tetap harus dapat memegang kendali untuk menjadi diriku sendiri. Sebelum aku pergi, perjumpaan kami ditutup dengan nasihat yang tidak mungkin dilupakan,

“…jangan lupa napak ya.”

Tom Suhalim.

DROP A MESSAGE